Era digital membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pesantren. Jika dahulu para santri menghadapi keterbatasan dalam mengakses kitab-kitab, kini digitalisasi membuka peluang luas bagi mereka untuk mengakses berbagai sumber ilmu tanpa batas.
Pimpinan Pondok Pesantren Planet NUFO, Mohammad Nasih, menyampaikan bahwa keterbatasan akses kitab di masa lalu bukan karena ketiadaan, melainkan karena kitab-kitab tersebut hanya diperuntukkan bagi para kiai dan keluarganya.
“Santri dulu hanya mendapatkan kitab-kitab yang tipis dan bersifat dasar,” ungkap Nasih yang hadir sebagai narasumber dalam webinar bertajuk “Digitalisasi Pesantren: Upaya Mewujudkan Ekosistem Pesantren untuk Kemandirian dan SDM Unggul” yang diselenggarakan oleh Universitas Insan Cita Indonesia (UICI).
Selain Mohammad Nasih narasumber lain yang hadir adalah Ketua Yayasan Pesantren Raudhatul Muta’allimin U. Aziz Muslim. Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo H. R Syafi’i juga hadir sebagai keynote speaker.
Dalam penjelasannya, Nasih mengungkapkan manfaat dari digitalisasi untuk pesantren. Pertama, kata Nasih, adalah digitalisasi memungkinkan para santri belajar sesuai dengan kemampuan.
Dalam hal ini materi ajar bisa diulang-ulang tanpa membuat yang mengajar merasa bosan bahkan terpancing emosinya dan kemudian membangkitkan amarahnya. Ia mencontohkan dalam kasus ini
Kedua, lanjut Nasi, digitalisasi memungkinkan santri untuk belajar di mana saja dan kapan saja.
“Dulu, buku-buku yang berat menjadi tantangan. Sekarang, semuanya tersedia dalam satu perangkat yang ringan dan mudah dioperasikan,” katanya.
Ketiga, digitalisasi memudahkan dalam menemukan referensi. Dengan perangkat digital yang dilengkapi dengan menu pencarian, untuk menemukan tema-tema tertentu hanya diperlukan kata kunci yang sesuai.
Kemudian yang keempat, digitalisasi memungkinkan kajian lebih dalam dan komprehensif. Dengan adanya banyak referensi, satu tema atau persoalan akan dilihat oleh para ilmuwan dengan disiplin keilmuan yang berbeda-beda, bahkan oleh ilmuwan dengan disiplin yang sama dari berbagai sudut pandang,
“Kelima, menghidupkan diskusi dan dialektika untuk melakukan falsifikasi, konfirmasi, dan rekonstruksi. Ini sangat diperlukan agar ajaran-ajaran Islam senantiasa relevan dengan perkembangan dan dinamika zaman,” tambahnya
Meski membawa banyak keuntungan, Nasih tidak menampik bahwa digitalisasi juga akan merombak paradigma tradisional pesantren. Menurutnya, ada dua dampak besar yang akan terjadi.
Pertama, dominasi keluarga pemilik pesantren dalam tradisi keulamaan akan terkikis. Santri dengan akses referensi yang luas memiliki peluang untuk menyamai atau bahkan melampaui kapasitas keilmuan para kiai.
“Digitalisasi memberikan peluang yang setara. Santri kini bisa membangun kapasitas keilmuan yang andal, bahkan jika berbeda, mereka tetap memiliki keunggulan komparatif,” jelasnya.
Kedua, budaya ketundukan berlebihan yang selama ini menjadi ciri khas pesantren berpotensi berubah. Dengan wawasan yang lebih luas, santri akan mulai mempertanyakan relasi yang tidak egaliter.
“Kritisisme akan tumbuh, dan para santri bisa melihat bahwa banyak ungkapan atau dalil digunakan secara tidak tepat untuk membangun dominasi elite agama,” tegas Nasih.
Sementara itu U. Aziz Muslim mengungkapkan digitalisasi pesantren bukan hanya soal mengadopsi teknologi, tetapi juga menciptakan ekosistem pesantren yang mandiri, berdaya saing, dan mampu menghasilkan sumber daya manusia unggul yang siap menghadapi tantangan global.
Oleh karena itu, kata Aziz, pesantren perlu memasukkan kurikulum abad 21, seperti pemograman computer, pengembangan aplikasi, cybersecurity, analisis data, hingga kecerdasan buatan (AI).
Dengan mengintegrasikan teknologi dalam proses pendidikan, pengelolaan, kewirausahaan, dan pengembangan spiritual, pesantren dapat menciptakan generasi yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga berkompeten dalam berbagai aspek kehidupan digital.
“Pesantren yang maju, mandiri, dan berbasis digital akan menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia, terutama untuk menghadapi era globalisasi yang semakin digital dan terhubung,” kata Aziz.