Jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil semakin meningkat. Satu per satu pabrik tekstil di Indonesia tutup, meninggalkan puluhan ribu pekerja tanpa pekerjaan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia mengungkapkan bahwa penurunan pesanan hingga tidak adanya order membuat pabrik-pabrik tekstil terpaksa menghentikan operasinya.
“Pabrik tekstil tutup bertambah lagi. PT S. Dupantex, lokasinya di jalan Pantura, Pekalongan, Jawa Tengah, baru tanggal 6 Juni kemarin, akibatnya PHK 700-an orang pekerja,” ungkap Ristadi kepada CNBC Indonesia, Selasa (18/06/2024).
Daftar pabrik tekstil yang tutup sejak awal 2024 termasuk:
- PT S. Dupantex, Jawa Tengah: PHK 700-an orang
- PT Alenatex, Jawa Barat: PHK 700-an orang
- PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah: PHK 500-an orang
- PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah: PHK 400-an orang
- PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah: PHK 700-an orang
- PT Sai Apparel, Jawa Tengah: PHK 8.000-an orang
Data ini hanya mencakup pabrik tempat pekerja anggota KSPN bekerja. Menurut Ristadi, beberapa perusahaan yang tergabung di bawah bendera Kusuma Group, seperti PT Kusumaputra Santosa, PT Kusumahadi Santosa, dan PT Pamor Spinning Mills, memproduksi benang hingga produk hilir berupa kain.
“Potensi PHK di sektor TPT masih terus berjalan. Penyebabnya semua hampir sama, order turun sampai nggak ada order sama sekali. Karena itu, pemerintah harus segera turun tangan,” ujar Ristadi.
Dia menyarankan pemerintah untuk membatasi impor barang TPT kecuali bahan baku yang tidak ada di Indonesia, serta memberantas impor ilegal yang merusak pasar domestik.
Ristadi juga menyoroti bahwa saat ini industri TPT dalam negeri yang masih mampu bertahan adalah perusahaan yang berorientasi pasar ekspor.
“Ceruk pasar dan kebutuhan tekstil sandang masyarakat disuplai oleh barang-barang TPT dari luar, padahal kita sangat mampu memproduksinya. Ironis,” cetusnya.
Ristadi menambahkan bahwa banyak PHK yang tidak dilaporkan atau dilakukan secara bertahap, sehingga jumlah karyawan yang terkena dampaknya terus bertambah.
Perusahaan juga seringkali ragu untuk melaporkan PHK karena khawatir akan memengaruhi kepercayaan dari perbankan dan pembeli.
“Sering ada yang protes, bahkan somasi, karena mengungkapkan perusahaan mereka telah melakukan PHK,” ucapnya.
Namun, jika tidak diungkapkan, pemerintah mungkin menganggap situasi di industri tekstil baik-baik saja, padahal banyak pekerja yang sudah menjadi korban PHK.
Ristadi berharap pemerintah segera mengambil langkah untuk mengatasi gelombang PHK yang terus melanda pabrik-pabrik manufaktur di dalam negeri, tidak hanya di sektor TPT, tapi juga industri alas kaki dan pabrik padat karya lainnya.
“PHK ini akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat yang kemudian akan memengaruhi ekonomi RI,” pungkasnya.