Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data mengejutkan bahwa hampir 10 juta penduduk usia muda yang berusia 15-24 tahun (Gen Z) di Indonesia berstatus menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET).
Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,2 juta berada di perkotaan dan 4,6 juta di pedesaan. Data ini memicu kekhawatiran mengenai masa depan bonus demografi yang sedang dialami Indonesia.
Merespons hal ini, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati, menyatakan bahwa tingginya angka pengangguran di kalangan Gen Z merupakan ancaman serius terhadap pencapaian Indonesia Emas 2045.
Kurniasih menegaskan bahwa bonus demografi, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi bom waktu bagi bangsa.
“Angka 10 juta pengangguran Gen Z sudah jadi tanda-tanda jika bonus demografis kita tidak terkelola dengan baik. Kita sudah menyadari hadirnya bonus demografi, maka di hulu pentingnya pendidikan skill dan di hilir pentingnya terbukanya luas kesempatan kerja,” ujar Kurniasih sebagaimana dikutip dari laman dpr.go.id, Rabu (22/05/2024).
Anggota Fraksi PKS DPR RI ini menyoroti semakin tingginya biaya pendidikan tinggi dengan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang menyulitkan banyak Gen Z untuk melanjutkan pendidikan.
Di sisi lain, kesempatan kerja yang ada seringkali mensyaratkan pengalaman kerja dan batas usia, yang menjadi kendala tambahan bagi generasi muda.
“Generasi muda hari ini tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Ada treatment khusus, terutama dari sisi pendidikan maupun dunia kerja. Harus dipermudah hadirnya lembaga pendidikan dengan skill yang saat ini sedang dibutuhkan, plus berikanlah kesempatan seluas-luasnya dari pemberi kerja,” tegas Kurniasih.
Kurniasih juga menyoroti dominasi pekerja informal dalam angkatan kerja saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pencari kerja yang terpaksa bekerja di sektor informal karena kurangnya kesempatan di sektor formal.
“Baru saja viral pencari kerja untuk sebuah warung makan biasa antreannya membludak seperti halnya antrean kerja di pabrik. Ini memprihatinkan karena banyak anak kerja ini tak dapat kesempatan kerja formal sehingga lowongan apapun akan dijalani termasuk sektor informal. Padahal perlindungan pekerja di sektor informal masih sangat lemah,” ungkapnya.
Dengan demikian, Kurniasih menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan dunia usaha untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan memastikan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Hanya dengan cara ini, bonus demografi dapat dioptimalkan untuk mendorong kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia menuju 2045. (*)