Anggota Komisi I DPR, Fadli Zon, menyoroti wacana pemberian hak kewarganegaraan ganda bagi diaspora yang sedang dibahas. Menurutnya, langkah ini perlu dikaji ulang karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006.
Dalam UU tersebut, terdapat pasal yang menyatakan bahwa seseorang yang berusia 18 tahun atau sudah menikah harus memilih satu kewarganegaraan.
Selain itu, Warga Negara Indonesia (WNI) hanya diperbolehkan memiliki satu kewarganegaraan saja, sesuai dengan pasal 23 UU tersebut.
“Saya kira, ini bukan wacana baru. Ini sudah wacana lama. Meskipun niatnya saya kira baik, tapi di dalam proses perundang-undangan, kita kan tetap harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fadli Zon mengungkapkan bahwa jika pemerintah mempertahankan wacana kewarganegaraan ganda, maka harus disertai dengan argumen yang kuat dan melalui proses pengkajian yang mendalam. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kerugian besar bagi negara.
“Perlu dikaji lebih dalam, plus minusnya, baik buruknya bagi (negara) kita. Saya kira, kita juga perlu membandingkan dengan negara-negara lain, seperti negara yang penduduknya besar, seperti India dan Cina. Mereka tidak menerapkan kewarganegaraan ganda, namun memberikan akses khusus kepada diaspora,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan mewacanakan akan memberikan hak kewarganegaraan ganda bagi diaspora asal kembali ke Tanah Air.
Diaspora tersebut meliputi warga negara Indonesia (WNI) yang berpaspor Indonesia, bekas WNI, keturunan Indonesia, dan warga negara asing (WNA) yang telah menetap lama di Indonesia dan dinilai telah mencintai negara Indonesia.