Lebaran di Indonesia rasanya belum lengkap tanpa halalbihalal. Setelah sebulan penuh berpuasa, umat Muslim di Indonesia menyambut Idulfitri dengan bukan hanya baju baru atau kue kering, tapi juga dengan pelukan hangat, jabat tangan, dan kata maaf yang tulus dalam tradisi bernama halalbihalal.
Menariknya, tradisi ini tidak ditemukan di negara Muslim lain. Ya, halalbihalal adalah ciptaan khas Indonesia—lahir dari nilai lokal, namun mengusung semangat universal: memaafkan dan mempererat hubungan.
Mengutip uici.ac.id, ada dua cerita yang kerap dikaitkan dengan asal-usul istilah ini. Salah satunya datang dari Solo pada tahun 1930-an, di mana pedagang martabak asal India kerap meneriakkan “Halal bin halal!” saat berjualan di kawasan Taman Sriwedari.
Dari sana, masyarakat mulai mengaitkan istilah tersebut dengan aktivitas bersilaturahmi dan saling memaafkan.
Versi lainnya jauh lebih politis. Pasca-kemerdekaan Indonesia, para tokoh politik tengah dilanda konflik. Bung Karno ingin menyatukan mereka, tapi bingung caranya.
KH Abdul Wahab Hasbullah—ulama karismatik pendiri NU—mengusulkan satu ide: undang mereka ke acara halalbihalal. Maka pada Lebaran 1948, tokoh-tokoh nasional pun berkumpul di Istana Negara dalam suasana silaturahmi, dan tradisi ini pun menyebar ke berbagai penjuru negeri.
Kini, halalbihalal tak hanya dilakukan di rumah, tapi juga di kantor, sekolah, bahkan secara daring. Meski kadang terkesan seremonial, makna di baliknya tetap penting: memulihkan hubungan, menurunkan ego, dan mempererat tali kemanusiaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halalbihalal dimaknai sebagai momen maaf-memaafkan pasca-Ramadan, yang biasa dilakukan bersama-sama dalam satu tempat. Tapi bagi banyak orang Indonesia, halalbihalal lebih dari sekadar definisi. Ia adalah wujud budaya yang menjembatani perbedaan dan merawat keakraban.
Di era digital seperti sekarang, halalbihalal juga ikut berevolusi. Tak sempat bertemu langsung? Tidak masalah. Kiriman pesan lewat WhatsApp, video call, atau komentar “mohon maaf lahir batin ya!” di media sosial pun bisa jadi bentuk halalbihalal versi masa kini.
Namun satu hal yang tidak berubah: niat baik untuk saling memaafkan dan merajut kembali silaturahmi. Karena di balik semua kesibukan dan keramaian Lebaran, ada satu hal yang selalu kita cari—kedamaian hati.